Revitalisasi Jati Diri Bangsa Melalui Wawasan Nusantara

Monday, January 31, 2011


Sebelum gerakan reformasi atau demokratisasi merebak pada tahun 1998, persoalan persatuan dan kesatuan bangsa sangat intensif dilakukan dan dipelihara. Namun sayangnya modal sosial yang sangat kuat dan tumbuh bersama-sama dengan kebangkitan nasional bangsa tersebut, dikelola secara simultan dengan aspek-aspek kehidupan yang lain, dengan pendekatan politik yang relatif represif dan mengedepankan stabilitas politik, ingat misalnya tentang strategi “trilogi pembangunan”. Dengan demikian persoalan persatuan dan kesatuan bangsa juga menerima imbas negatif di era reformasi.
Persoalan-persoalan yang bernuansa separatisme kedaerahan yang sempit pada saat itu dapat diredam dengan pendekatan stabilitas politik, dengan nuansa pembangunan pertumbuhan ekonomi yang secara artifisial cukup memuaskan, untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) rakyat, disertai dengan sistem pemerintahan yang sentralistik.
Pada saat terjadinya krisis ekonomi yang dahsyat pada akhir tahun 1997, yang pada akhirnya tidak dapat diatasi dan kemudian disusul oleh krisis multidimensional akibat sinergi negatif antara krisis ekonomi dan keadaan sosial-politik yang tidak sehat, yang sebenarnya merupakan “api dalam sekam”, maka meledaklah ketidakpercayaan pada penguasa pada waktu itu, sehingga Orde Baru jatuh dan digantikan oleh Orde Reformasi.
Bangsa yang Gamang
Salah satu side effect runtuhnya Orde Baru yang sangat menyedihkan adalah berkembangnya sikap skeptis terhadap ideologi bangsa (Pancasila) akibat trauma atas pendekatan doktriner P4 ( eka prasetya pancakarsa ) yang menjadikan Pancasila kurang mencerminkan keseimbangan perlindungan antara moralitas institusional, moralitas sosial dan moralitas sipil dan bahkan menjadikan Pancasila sebagai ideologi tertutup di luar penafsiran nilai-nilai yang diformalkan.
Kegamangan terhadap ideologi Pancasila tersebut menyurutkan makna ideologi, baik sebagai perekat persatuan bangsa maupun sebagai sarana untuk menumbuhkan kepercayaan bangsa lain yang akan berhubungan dengan Indonesia (the predictability function of ideology).
Terkait dengan nilai atau sila Persatuan Indonesia, kondisi negatif tersebut nampak dari pelbagai indikator sebagai berikut:
  • Rasa tidak aman/tidak tenteram bagi minoritas;
  • Munculnya gerakan radikalisme yang tidak jarang disertai dengan langkah-langkah anarkhis, kekerasan dan amuk massa;
  • Munculnya terorisme, yang dipicu oleh radikalisme dengan memanfaatkan melemahnya ideologi Pancasila;
  • Toleransi terhadap perbedaan pendapat sangat lemah;
  • Munculnya elemen-elemen separatisme dan kedaerahan/primordialisme, dengan menafsirkan otonomi daerah sebagai federalisme;
  • Pendekatan fragmentatif dalam menghadapi persoalan-persoalan bangsa;
  • Ketiadaan atau kelangkaan tokoh panutan;
  • Perasaan gotong-royong, solidaritas dan kemitraan yang lemah;
  • Ketidaksepahaman dalam mensikapi proses globalisasi;
  • Iklim investasi yang buruk dan larinya modal asing ( foreign direct investment ) sebagai the final aftermath; dan lain-lain.


Struktur dan Kultur Persatuan Nasional
Dalam kondisi semacam itu, bangsa Indonesia sebenarnya tetap yakin bahwa persatuan dan kesatuan nasional baik yang bernuansa struktural maupun kultural (solidaritas sosial) tetap bisa dipertahankan di negeri ini, sebab bangsa ini memang didirikan atas dasar falsafah non-primordialisme, melainkan atas dasar rasa penderitaan yang sama (sense of common suffering) akibat penjajahan asing ratusan tahun. Dengan demikian fondasi berdirinya bangsa ini adalah pluralisme dengan semboyan ”Bhinneka Tunggal Ika” ( unity ini diversity/e pluribus unum).
Semboyan tersebut sangat bermakna, karena di dalamnya terkandung elemen-elemen: diversity, unity, harmony, tolerance and peace. Hal ini tidak hanya bernuansa domestik, tetapi juga mondial mengingat pengaruh globalisasi, yang menjadikan dunia ini sebagai the global village, yang anti terhadap segala perilaku diskriminatif.
Berbicara tentang membangun jati diri adalah suatu proses penumbuhan dan pengembangan nilai-nlai luhur yang terpancar dari hati nurani melalui mata hati kita, dan direfleksikan dalam pemikiran, sikap dan perilaku.
Mungkin selama ini kita hanya menggunakan cipta dan karsa serta tangan atau karya saja, tetapi kedepan kita sudah saatnya menampilkan olah rasa dalam membangun jati diri bangsa.
Pada dasarnya jati diri bangsa dipengaruhi oleh perkembangan sistem nilai yang dianut dan dipahami, yang senantiasa berubah secara dinamis mengikuti paradigma yang berlaku. Kuhn (1996) menjelaskan pengertian paradigma sebagai berikut: paradigma sebagai suatu himpunan pendapat atau pengertian yang dapat memberikan jawaban atau penjelasan pada suatu pertanyaan ilmiah; atau pendefinisian dari suatu anggapan untuk berbagai masalah dan metode yang absah; atau suatu kriteria untuk menentukan permasalahan yang dipertanyakan.
Pergantian suatu paradigma dengan paradigma yang baru adalah merupakan kejadian ilmiah yang diakibatkan oleh perkembangan/pertumbuhan ilmu pengetahuan. Dalam proses peralihan paradigma tersebut seringkali terjadi atau tidak berlangsung secara mulus, karena selalu terdapat masyarakat pendukung paradigma lama dan pendukung paradigma baru. Hal ini bisa saja berlangsung lama disebabkan oleh rasa keengganan pemeluk paradigma lama untuk mengakui keunggulan paradigma baru. Keadaan ini secara jujur kita rasakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini yang apabila tidak diwaspadai akan mengancam kekokohan persatuan dan kesatuan bangsa.

Jati Diri dan Persatuan Bangsa
Kita menyadari bahwa semangat kesatuan dan persatuan itu memang pernah disalahgunakan untuk mengendalikan negara secara otokratik. Karenanya, mari kita kembalikan makna luhur dua kata itu menjadi niat untuk menjaga keutuhan bangunan negara yang kita cintai bersama, dalam suasana demokratis, bukan artificial.
Mengelola kebhinnekaan, jangan diartikan sebagai mencabik-cabik dan meruntuhkan bangunan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kini, saatnya kita mengibarkan kembali semangat dan tekad bersatu dari Sabang sampai Merauke kita harus jaga keutuhannya, isinyalah yang kita tata dengan menempatkan keanekaragaman yang ada secara proporsional. Jangan pernah kita biarkan negeri ini terpecah berkeping-keping, hanya karena menonjolnya kepentingan sektoral, kedaerahan, dan juga kepentingan kelompok. Dalam hal ini yang kita kembangkan adalah constructive pluralism, bukan menerapkan misalnya minority by force atau minority by will.
Setelah reformasi bergulir delapan tahun yang lalu, baru kita memahami bahwa semua yang dilakukan dulu, sekarang ini menimbulkan dampak di kalangan masyarakat. Rasa ketidakpuasan, ketidaksenangan, dan akhirnya menimbulkan rasa dendam adalah fenomena yang kita temukan di kalangan masyarakat saat ini.
Reformasi bukanlah revolusi, bukan pula suatu evolusi biasa, tetapi evolusi yang dipercepat (accelerated evolution) . Yang diakselerasi adalah pelbagai indeks atau root principles of democracy yang dilakukan secara gradual dan sistematis, karena kita melihat ada hal-hal yang di masa lalu itu tidak baik, hal-hal yang di masa lalu itu tidak benar, hal-hal yang dimasa lalu yang perlu disempurnakan dan harus diperbaiki, khususnya yang berkaitan dengan aktualisasi proses demokrasi.
Jadi tidak benar kalau reformasi adalah penghancuran total secara emosional terhadap hasil-hasil di waktu yang lalu untuk kemudian dibangun suatu sistem. Yang betul-betul tidak lagi berbau masa lalu. Kalau ini yang dilakukan maka ini namanya revolusi dan kita akan kembali sekian tahun ke belakang dan tentunya akan merugikan kita semua di segala aspek kehidupan. Kita mensyukuri sekarang ini, masyarakat menyadari perubahan itu tidak boleh dilakukan dengan emosional, kepentingan sesaat dan balas dendam, tetapi lebih kepada perubahan yang harus dilakukan secara konsepsional melalui suatu tatanan yang berlandaskan kepada rasionalitas sesuai dengan kebutuhan dan juga menatap masa depan bangsa indonesia.
Sebagai bangsa yang merdeka, maka bangsa Indonesia mempunyai cita-cita dan tujuan seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945, yakni adanya kehidupan yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Kebhinnekaan budaya masyarakat Indonesia merupakan rahmat dari Tuhan Yang Maha Esa yang harus diterima sebagai kekayaan bangsa. Sejarah menunjukkan bahwa suku-suku bangsa yang mendiami wilayah Nusantara ini, dengan keanekaragaman budayanya masing-masing, sejak dahulu telah saling berhubungan dan berinteraksi. Berdasarkan kesamaan visi mengenai masa depan, maka para pemuda dari suku-suku bangsa tersebut pada tahun 1928 telah mengikrarkan sumpah untuk menjadi satu bangsa dengan menggunakan bahasa persatuan dan bersama-sama hidup di satu tanah air. Dari peristiwa ini terlihat bahwa kebhinnekaan budaya bukan menjadi halangan untuk mewujudkan persatuan bangsa.
Justru budaya yang beraneka ragam tersebut mampu berhubungan dan berinteraksi satu dengan yang lainnya secara selaras dan serasi. Oleh sebab itulah perlu selalu disadari dan dipahami bersama bahwa bangsa Indonesia ini memang dibentuk dari suku-suku bangsa yang memiliki budaya yang beraneka ragam. Maka langkah utama yang perlu ditempuh dalam rangka membangun kehidupan baru bagi bangsa Indonesia di masa depan adalah menggunakan salah satu asas dalam konsepsi kemandirian lokal, yaitu “pendekatan kebudayaan”, sebagai bagian utama dari strategi pembangunan masyarakat dan bangsa. Implementasi pendekatan kebudayaan dalam pembangunan bangsa diyakini akan dapat menumbuhkan kebanggaan pada setiap anak bangsa terhadap diri dan budayanya dan pada gilirannya akan menumbuhkan pula toleransi dan pengertian akan keberadaan budaya lainnya. Hal ini merupakan faktor utama perekat persatuan bangsa.
Pada proses reformasi, penyaluran aspirasi politik masyarakat telah dapat diakomodasikan dalam sistem multi partai. Pada satu sisi, hal ini dapat mencerminkan perwujudan demokrasi, akan tetapi pada sisi lain dapat mengarah pada pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila. Hal tersebut pada akhirnya dapat diselewengkan dengan pembentukan kekuatan-kekuatan dengan memobilisasi kekuatan berdasarkan asas masing-masing. Hal ini dapat bermuara pada berkembangnya primordialisme sempit berdasarkan agama, etnis ataupun ras dan aspek kedaerahan lainnya.
Faktor kemajemukan serta adanya kesenjangan antar daerah yang makin menajam, dapat berdampak pada permasalahan di bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan hankam. Keadaan negara yang berbentuk kepulauan dengan berbagai ragam permasalahan akan semakin berbahaya bila faktor luar ikut campur tangan memanfaatkan kelemahan-kelemahan yang ada. Tuntutan pemisahan diri daerah tertentu menunjukkan terjadinya benturan kepentingan daerah dengan pusat. Disamping itu, patut diperhatikan karena permasalahan-permasalahan daerah tersebut di atas ternyata terjadi di sepanjang alur laut kepulauan Indonesia ( alki ), yang apabila tidak diwaspadai akan mengancam ketahanan nasional kita.
Di era pasca perang dingin, bahaya-bahaya terhadap bangsa-bangsa di dunia tidak lagi bersifat konvensional militeristik dengan aktor negara, tetapi bersifat non-tradisional ( non traditional security threat ) dengan pelaku non state actors seperti terorisme, kejahatan transnasional terorganisasi, perusakan lingkungan hidup, perdagangan senjata api, migran gelap, perdagangan manusia untuk prostitusi dan sebagainya. Belum lagi persoalan kemiskinan, penyakit menular, perang saudara, senjata nuklir, dan masih juga adanya bahaya perang.

Peran Wawasan Nusantara dalam Revitalisasi Jati Diri Bangsa Indonesia
Modal dasar bangsa Indonesia untuk menghadapi semua hal diatas adalah nilai-nilai dasar yang telah menjadi konsensus final, yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI di tambah Wawasan Nusantara sebagai geopolitik dan ketahanan nasional sebagai geostrategi.
Ketahanan nasional (national resilience) pada hakikatnya merupakan kondisi tingkat peradaban (the level of civilization) suatu bangsa yang tidak dapat hanya diukur atas dasar parameter kemampuan defence and security , pertumbuhan ekonomi dan jumlah pendapatan perkapita suatu bangsa, tetapi juga ditentukan oleh kondisi stabilitas politik dan perlindungan HAM, tingkat demokrasi, tingkat kemiskinan, kemampuan suatu bangsa untuk memiliki keunggulan komparatif dan keunggulan kompetitif di era globalisasi, kemajuan pendidikan dan sain serta teknologi dan sebagainya, yang semuanya sebenarnya merupakan jumlah keseluruhan dari human and national capabilities.
Ketahanan (resilience) harus diartikan dalam kerangka competency yang mengandung makna menurut Schultz (2005) yaitu makna deals effectively with pressure, maintains focus and intensity and remains optimistic and persistent even under adversity, recovers quickly from setback effectively balance personal life and work.
Disamping itu, Wawasan Nusantara sebagai suatu pandangan geopolitik yaitu cara pandang (out look) yang berlingkup nasional untuk memberi arah bagi setiap warga negara indonesia dan segenap komponen bangsa indonesia, untuk senantiasa menjaga dan memelihara persatuan bangsa dan kesatuan wilayah dari Sabang sampai Merauke dalam rangka terwujudnya cita-cita nasional, sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tantangan, ancaman, hambatan dan gangguan baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri yang berpotensi memecah maupun merusak persatuan dan kesatuan bangsa yang menjurus kepada disintegrasi bangsa perlu segera diatasi. Kita harus mengatasi hal ini secara profesional dan proporsional dengan mengedepankan persatuan dan kesatuan bangsa serta memposisikan rakyat sebagai penikmat kedaulatan rakyat.
Profesionalisme tidak hanya mengandung nuansa expertise yang memadai dari seseorang yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan oleh lembaga yang hebat, tetapi harus disertai karakter semangat altruistik atau pengabdian sosial yang tinggi (sense of social responsibility) dan rasa kesejawatan (corporateness) dan ketaatan kepada kode etik yang berlaku dalam profesinya, yang pada akhirnya perilaku positif yang secara teratur diterapkan akan menumbuhkan kebiasaan dan karakter yang kondusif untuk mencapai tujuan nasional seperti yang diamanatkan.
Rasa percaya diri (self confidence) seorang pemimpin akan sangat dibutuhkan untuk membangun ketahanan nasional masyarakatnya. Kehebatan seorang pemimpin seperti motivasi untuk maju, bijak, profesional, tidak sombong, hidup sederhana, jujur (honesty is the fisrt chapter of wisdom), sadar akan pentingnya team work , suka bekerja keras (every great achievement is the story of flamming heart), berani mengambil risiko secara terukur (calculated risk), penuh dengan imajinasi dan selalu menjaga kualitas kerjanya serta kesediaan untuk mengakui keunggulan seseorang termasuk keunggulan anak buahnya, tidak dapat hanya diperoleh melalui pendidikan formal, tetapi juga melalui proses penghayatan yang empiris mulai dari tahap-tahap (stages); mengenal (acquaintance), menyadari lebih dalam (awareness) kemampuan menilai (attitude) dan membentuk perilaku (behaviour).
Pelbagai konsensus nasional di atas (Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan NKRI, Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional) harus dilihat sebagai “jati diri bangsa” dan ditempatkan sebagai margin of apprecfiation. Selain itu semangat reformasi mengharuskan kita untuk menghormati pelbagai persyaratan untuk hidup bermartabat ( living in dignity) yang merupakan segitiga yang bersifat universal yaitu demokrasi, rule of law dan promosi serta perlindungan HAM.
Jati diri bangsa tersebut hanya dapat terbentuk melalui contoh perilaku pemimpin-pemimpin bangsa yang tangguh, yang mempunyai semangat perubahan, global dan transformational serta tetap memiliki semangat kebangsaan yang kuat. Tidak harus merupakan negarawan (statesman) yang merupakan manusia langka.

Karakter kepemimpinan tersebut adalah:
  • Change leadership yang dapat melakukan sinergi positif antara enthusiasism, energy and hope , yang selalu menjaga optimisme, pantang menyerah dalam mengejar tujuan, disertai rasa percaya diri di satu pihak dengan moral purpose, understanding change, coherence making, relationship building ang knowledge creation and sharing di lain pihak. Dalam culture of change seorang pemimpin akan mengalami atau menikmati ketegangan yang merupakan kesatuan dalam beratnya memecahkan masalah. Di situlah sebenarnya keberhasilan terbesar terletak pada effective leaders make people feel that even the most difficult problems can be tackled productively.
  • Transformational leadership dengan karakter:
    • Able to set out bold vision;
    • Skilled in marshalling the intellectual and emotional equity of their people;
    • Caring for the individual at the highest level;
    • Ability to mind the mind;
    • Quick to recoqnize good ideas and have the intellectual honesty;
    • The imperative on institutionalization, to ensure continuity without disruption;
    • Wilingness to move away from his conventional role;
  • Global leadership, yang konsepnya dilandasi oleh keyakinan sosial yang komplek dan bersifat global, tidak ada model khusus (single model) yang cocok terhadap situasi yang sangat luas yang dihadapi seorang pemimpin apapun juga. Dalam hal ini paling tidak terdapat 5 ( lima ) karakteristik yang muncul (emerging characteristics) dalam kerangka kepemimpinan global yaitu:
    • Thinking globally yang mengandung pesan agar pemimpin selalu berusaha untuk memahami keanekaragaman sistem ekonomi, budaya, hukum dan politik, sebagai bagian dari warga negara dunia dengan visi dan nilai-nilai yang open ended. A home centric view will not be tolerated. Global leaders need to have a global level when making decisions (think globaly adt locally).
    • Appreciating cultural diversity, diversitas dalam hal ini diartikan sebagai diversity of leadership style, industry style, individual behaviors and values, race, religion and sex, hal ini akan merupakan a key to competing successfully in the future.
    • Developing technological savy, tanpa hal ini masa depan kemitraan dan jaringan global yang terpadu tidak mungkin terjadi.
    • Building partnership and alliances, kepemimpinan di masa depan akan mensyaratkan tim-tim kepemimpinan yang kolaboratif, setiap tim menguasai pelbagai ketrampilan yang disyaratkan oleh kepemimpinan global.
    • Sharing leadership, untuk membuat keputusan-keputusan yang efektif. Tidak seperti kepemimpinan individual saat ini, seorang pemimpin yang berhasil di masa depan akan bergerak secara terintegrasi.

Wawasan Nusantara tidak hanya menopang keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia, merekatkan persatuan dan kesatuan, tapi juga secara tepat mengetengahkan jatidiri bangsa. Dengan menerapkan konsep Wawasan Nusantara, maka terbentuk dan terjalin kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang dijalin erat dari begi beragamnya kehidupan sosial, budaya, sejarah dan cita-cita
Apa sebenarnya jati diri bangsa itu? Tak dapat dipungkiri lagi bahwa sebuah bangsa akan kehilangan jati dirinya apabila dia tidak memiliki prinsip dan keunikan tersendiri.
Bangsa kita misalnya, sudah dikenal dengan senyumannya. Itu adalah jati diri bangsa kita. Kita juga dikenal dengan kerukunannya. Bayangkan saja, ada banyak suku dan agama di Indonesia tapi semua bisa hidup berdampingan dan penuh kerukunan.
Tapi sayang, jati diri bangsa itu kini ternodai olah tangan-tangan kotor para politisi negeri ini. Dengan berbagai upaya mereka memecah belah bangsa tercinta ini. Mulai dengan issue2 negatif, fitnah-fitnah tak berdasar sampai ancaman-ancaman akan kebebasan berpendapat di negeri ini.
Maka sudah saatnya kita mengembalikan jati diri bangsa ini. Menemukan kembali budaya kita yang terlindas jaman. Mencari arti hidup yang sebenarnya. Kita ini adalah bersaudara. Kita lahir dan makan dari tanah yang sama. Kita menghirup udara yang sama. Kita juga punya salah dalam diri kita.
Jadi, kenapa kita tidak melihat sisi positif dari saudara kita? Bukankah udara yang merasuk dalam tubuhnya adalah udara yang sama dengan yang kita hirup. Bukankah makanan yang menjadi darah dagingnya berasal dari tanah yang sama dengan makanan kita.
Sesungguhnya kita ini hanya terpisah oleh badan. Tapi darah, daging dan udara yang kita miliki adalah sama. Sungguh aneh jika kita menghina saudara kita. Karena penghinaan terhadap saudara kita adalah penghinaan terhadap diri kita sendiri.




Perlunya pemahaman terhadap wawasan nusantara
Mengapa Wawasan Nusantara Harus Ada?
Wawasan Nusantara adalah konsep politik bangsa Indonesia yang memandang Indonesia sebagai satu kesatuan wilayah, meliputi tanah (darat), air (laut) termasuk dasar laut dan tanah di bawahnya dan udara di atasnya secara tidak terpisahkan, yang menyatukan bangsa dan negara secara utuh menyeluruh mencakup segenap bidang kehidupan nasional yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam. Wawasan Nusantara sebagai konsepsi politik dan kenegaraan yang merupakan manifestasi pemikiran politik bangsa Indonesia

Bagaimana Tujuan Wawasan Nusantara Itu?
Wawasan nusantara dalam TAP MPR 1983 adalah konsepsi untuk mencapai tujuan pembangunan nasional :
- Kesatuan Politik
- Kesatuan Ekonomi
- Kesatuan Sosial Budaya
- Kesatuan Pertahanan Keamanan


Sebagai satu kesatuan negara kepulauan, secara konseptual, geopolitik Indonesia dituangkan dalam salah satu doktrin nasional yang disebut Wawasan Nusantara dan politik luar negeri bebas aktif. sedangkan geostrategi Indonesia diwujudkan melalui konsep Ketahanan Nasional yang bertumbuh pada perwujudan kesatuan ideologi, politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan keamanan. Dengan mengacu pada kondisi geografi bercirikan maritim, maka diperlukan strategi besar (grand strategy) maritim sejalan dengan doktrin pertahanan defensif aktif dan fakta bahwa bagian terluar wilayah yang harus dipertahankan adalah laut. Implementasi dari strategi maritim adalah mewujudkan kekuatan maritim (maritime power) yang dapat menjamin kedaulatan dan integritas wilayah dari berbagai ganguan asing.
Negara kita, Indonesia , adalah sebuah realitas sosial yang dibayangkan dan dicita-citakan. Sebagai sebuah negara-bangsa yang memiliki akar nasionalisme yang mendalam dan sejarah yang panjang, serta memperoleh kemerdekaan dengan cara-cara terhormat dan membanggakan. Sudah selayaknya kita tetap mempertahankan identitas dan jati diri sebagai modal sosial dalam berinteraksi, baik kompetitif maupun kolaboratif, dengan bangsa-bangsa lain di era global.

No comments:

Post a Comment


 
© Copyright 2011-2012 Simoncelli MotoGP All Rights Reserved.
Template Design by Simoncelli MotoGP | Published by Bloggers Templates | Powered by Blogger.com.