  |  | Imam Bonjol |   Mengapa   perlawanan di Sumatra Barat disebut Perang Padri? Istilah Padri berasal dari   kata Padre yang berarti Ulama. Pada mulanya perang Padri merupakan Perang   Saudara antara para Ulama berhadapan denegan Kaum Adat. Setelah Belanda ikut   campur yang semula membantu kaum adat berubahlah perang itu menjadi perang   Kolonial. |   
   a.  |    Pertentangan antara Kaum Padri dan Kaum   Adat itu dapat dikemukankan sebab-sebabnya sebagai berikut :  |   
   
 
  |         -  |      Kaum Adat adalah kelompok masyarakat     yang walaupun telah memeluk agama islam namun masih teguh memegang adat dan     kebiasaankebiasaan lama yang bertentangan dengan ajaran Islam.
 
   |           
 
  |      
  |      
  |           
 
  |      
  |           -  |      Kaum Padri adalah kelompok masyarakat     Islam di Sumatra Barat yang telah menunaikan ibadah haji di Mekkah serta     membawa pandangan baru. Terpengaruh oleh gerakan Wahabi mereka berusaha     hidup sesuai dengan ajaran Al’quran dan Hadist, berusaha melakukan     pembersihan terhadap tindakan-tindakan masyarakat yang menyimpang dari     ajaran tersebut. Beberapa tokoh kaum Padri adalah Haji Miaskin, Haji     Sumanik, Haji Piobang. Tokoh lainnya adalah Malin Basa ( terkenal dengan     nama Imam Bonjol), Tuanku Mesiangan, tuanku Nan Renceh dan Datok Bandaharo.
  Dengan perbedaan yang cukup mendasar tersebut terjadilah perebutan pengaruh     antara kaum adat dan kaum Padri di tengah-tengah masyarakat. Pernah     diadakan pertemuan untuk mengakhiri perbedaan tadi di Koto Tengah     namun tidak berhasil dan bahkan memicu pertikaian. Untuk menghadapi kaum     Padri maka kaum Adat meminta bantuan kepada Belanda pada tahun 1821 yang dapat     Anda perlajari pada uraiannya berikut ini.   |      
 
  |   
   
 
  |    
 
  |    
 
  |   
   b.  |    Jalannya Perang Padri  |   
   
 
  |    I.  |    Tahun 1821-1825 Pada bulan April tahun 1821 terjadi pertempuran antara kaum Padri melawan   Belanda dan kaum Adat di Sulit Air dekat danau Singkarak. Belanda mengirimkan tertaranya dari Batavia di bawah pimpinan Letkol Raaf dan   berhasil menduduki Batusangkar dekat Pagaruyung lalu mendirikan benteng yang   bernama Fort Van der Capellen. Pada tahun 1824 dan 1825 terjadi perjanjian perdamaian antara Belanda dengan   kaum Padri di Padang yang pada pokoknya tidak akan saling menyerang.  |   
   
 
  |    
 
  |    
 
  |   
   
 
  |    II.  |    Tahun 1825-1830 Pada periode ini Belanda juga sedang menghadapi perang Diponegoro sehingga   perjanjian perdamaian di atas sangat menguntungkan Belanda. Untuk menghadapi   Kaum Padri, Belanda membangun benteng disebut Fort de Kock ( nama panglima   Belanda) di Bukittinggi.  |   
   
 
  |    
 
  |    
 
  |   
   
 
  |    III.  |    Tahun 1831-1837 Belanda bertekad mengakhiri perang Padri setelah dapat memadamkan Perang   Diponegoro. Tindakan yang dilakukan Belanda adalah mendatangkan pasukan   dipimpin oleh Letnan Kolonel Elout kemudian Mayor Michaels dengan tugas pokok   menundukkan Kaum Padri yang berpusat di Ketiangan dekat Tiku. Selain itu   Belanda juga mengirim Sentot Ali Basa Prawirodirdjo (bekas panglima   Diponegoro) serta sejumlah pasukan dari pulau Jawa walaupun kemudian berpihak   kepada kaum Padri. Sejak tahun 1831 kaum Adat bersatu dengan kaum Padri untuk menghadapi   Belanda.  |   
   
 
  |    
 
  |    
 
  |   
   
 
  |    
 
  |         Pada tanggal 25 Oktober 1833 Belanda     menawarkan siasat perdamaian dengan mengeluarkan Plakat Panjang yang isinya     sebagai berikut:  |           1.  |      Belanda ingin menghentikan perang  |           2.  |      Tidak akan     mencampuri urusan dalam negeri Minangkabau  |           3.  |      Tidak akan     menarik cukai dan iuran-iuran.  |           4.  |      Masalah kopi,     lada dan garam akan ditertibkan.  |      
 
  |   
   
 
  |    
 
  |    
 
  |   
   
 
  |    
 
  |    Imam Bonjol   tetap waspada dengan siasat Belanda itu. Setelah tahun 1834 terjadi lagi   serangan sasaran utama serangan Belanda adalah benteng Bonjol yang dapat   direbutnya pada tanggal 16 Agustus 1837. Belanda mengajak Imam Bonjol   berunding namun kemudian ditangkap. Ia dibawa ke Batavia lalu dipindahkan ke   Miinahasa sampai wafatnya tahun 1864 dalam usia 92 tahun. Perlawanan   dilanjutkan oleh Tuanku Tambusai yang dapat dikalahkan Belanda tahun 1838.  |   
No comments:
Post a Comment